Dalam kehidupan sehari-hari hampir tidak
pernah dijumpai pernikahan tanpa didahului oleh peminangan calon mempelai pria
terhadap calon mempelai wanita, jikalaupun ada tentunya jumlahnya sangat kecil.
Hal
ini menunjukkan besar kesadaran masyarakat akan arti penting peminangan dalam
rangka membentuk keluarga ideal yang penuh sakinah,
mawaddah dan rahmat lewat pernikahan.
Peminangan dalam
literature fiqih disebut : اَلْخِطْبَةْ secara harfiah خطبة adalah:
اِلْتِمَاسُ الْخَاطِبِ
اَلنِّكَاحَ مِنْ جِهَةِ الْمَخْطُوْبَةِ
“Yakni
permintaan peminang kepada terpinang untuk melakukan pernikahan “ (I’anah
Tholibin 3 : 267).
Pengertian istilah itu tidak jauh berbeda dalam arti harfiahnya. Dalam
kompilasi hukum islam Indonesia mendefinisikan peminangan sebagai kegiatan
upaya ke arah terjadi hubungan perjodohan antara seorang pria dan wanita.
Peminangan sunnah hukumnya. Hal ini diperintahkan
tetapi tidak sampai pada tingkat kewajiban. Tanpa peminangan akad
pernikahan tetap sah karena tidak termasuk rukun dan syarat.
Seperti dikemukakan diatas, masyarakat umumnya tidak meninggalkan peminangan
sebagai Muqoddimah (pendahuluan) menuju perkawinan. Hal ini
kemungkinan disebabkan banyak manfaat yang diperoleh lewat peminangan seorang
pria mengetahui kesediaan مَخْطُوْبَةِ (wanita yang dipinang untuk di nikah). Kesediaan ini sangat penting
dikaitkan dengan ketentuan kompilasi hukum islam Indonesia pasal 16 yang menyatakan perkawinan didasarkan atas
persetujuan calon mempelai.
Bahkan dalam pasal 17 disebutkan: “bila ternyata perkawinan tidak disetujui
olehsalah seorang calon mempelai, maka perkawinan itu tidak dapat
dilangsungkan.”
Peminangan juga memungkinkan kedua calon mempelai saling engenal, paling tidak
secara fisik dengan melihat secara langsung (مُعَايَنَةْ) .
Rasul SAW pernah menyuruh Al-mughiroh ibnu Syu’bah ketika meminang seorang
wanita agar melihatnya, beliau bersabda :
اُنْظُرْ اِلَيْهَا
فَإِنَّهُ اَحْرَى مِنْ اَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“pandangah ia,
karena hal itu bias menciptakan keharmonisan antara kalian berdua.” (Nihayatuz
Zain, Hal:299)
Informasi yang lebih detail tentang kepribadian masing-masing dapat diperoleh
melalui konsultasi dengan kawan atau kerabat. Dengan begitu kekecewaan di
kemudian hari akibat salah pilih dapat diantisipasi. Setelah memahami kelebihan
dan kekurangan pasangannya, kedua pihak dapat memperkirakan resiko yang mungkin
terjadi, sekaligus menyiapkan diri secara mental dalam menghadapinya dengan
penuh kedewasaan.
STATUS HUKUM
Kesadaran
masyarakat akan arti penting peminangan bagi perkawinan ternyata belum diimbangi
pengetahuan secara memadai tentang akibat hokum yang ditimbulkan. Bagaimana
status مَخْطُوْبَةِ dalam
hubungannya dengan lelaki yang telah meminangnya? Apakah dia sama persis dengan
istri atau statusnya masih seperti belum dipinang?
Pada dasarnya antara peminangan dan pernikahan terdapat perbedaan yang
fundamental. Peminangan tidak lebih dari muqoddimah pernikahan, dalam
peminangan lelaki baru pada tahap mengungkapkan perasaan atau keinginan dan
mengajukan penawaran kepada pihak perempuan untuk menikah.
Sebuah penawaran tentu saja dapat diterima dan ditolak. Sedangkan perkawinan
adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga. Karena itu, setelah peminangan status خَاطِبْ dan مَخْطُوْبَةِbelum berubah sama sekali, antara keduanya belum terjalin hubungan yang
special. Mereka masih dianggap seperti orang lain. Status suami istri lengkap
dengan hak dan kewajibannya baru diperoleh setelah keduanya menikah.
Ketentuan ini membawa konsekuensi dalam masa tunggu antara peminangan sampai
pernikahan, mereka berdua tidak dibenarkan mengerjakan hal-hal yang
hanya diperkenankan dilakukan suami istri, seperti: berduaan di tempat sepi,
tidur bersama, apalagi melakukan hubungan seksual.
Juga termasuk poto pre wedding dengan bergandengan tangan atau sejenisnya untuk
kartu undangan walimah atau resepsi pernikahan yang saat ini sedang marak
dilakukan sepasang lelaki dan perempuan sebelum keduanya nikah secara resmi.
Akibat
hukum peminangan terbatas pada larangan meminang wanita yang telah
dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada
penolakan dari pihak wanita. Putusnya pinangan dapat diketahui lewat pernyataan
secara lisan atau berdasarkan indicator-indikator yang lain. Rasulullah
bersabda :
وَلَا يَخْطُبُ
الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ اَخِيْهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ اَوْ
يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
” Dan janganlah seseorang meminang
(wanita) yang telah dipinang saudaranya, hingga ia (peminang sebelumnya)
meninggalkannya atau mengizinkannya” (Shohih Bukhori, Juz: 6, Hal: 136 – maktabah
wa matba’ah toha putra semarang)
Dengan demikian para orang tua seyogyanya mengarahkan putra-putrinya agar tidak
terlibat dalam hubungan terlalu jauh dengan calon pasangannya, siapa tahu
setelah salah satu “mencicipinya” pernikahan batal dilangsungkan. Hal ini mengingat putusnya peminangan masih terbuka selama belum menikah
secara resmi. Disamping itu, perbuatan tersebut dilarang oleh agama. Lagipula
status anak akibat “kecelakaan” sebelum pernikahan dalam masalah warisan dan
lain-lain berbeda dengan anaka yang sah.
Satu hal yang jelas, memelihara kesehatan jauh lebih baik daripada mengobati
penyakit, apalagi jika penyakit itu tidak memiliki obat penawar.
Demikian sekelumit tulisan yang kami kutip dari berbagai sumber dengan harapan
dapat menjadi tuntunan bagi semua pihak, khususnya para orang tua yang akan
menikahkan putra-putrinya.
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita ke jalan yang benar. Amin.
CATATAN UNTUK DIPERHATIKAN
Wanita hamil akibat kecelakaan (مِنَ الزِّنَى) yang dinikah oleh pria lain, bila kemudian hari melahirkan
anak setelah enam bulan dua (لَحْظَةْ) dari waktu
dia akad dan (اِمْكَانُ الْوَطِئْ), maka anak
itu sah jadi (وَلَدُ النَّسَبْ) dengan
pria tersebut dan berlaku (حُكُومْ وَلَدُ النَّسَبِ) boleh menjadi wali apabila lahir anak putrid dan boleh waris
mewaris.
Demikian juga sah jadi (وَلَدُ النَّسَبْ) apabila
tidak tahu (jelas) apakah waktu melahirkan anak tersebut sudah sampai masa enam
bulan dua (لَحْظَةْ) atau belum. Dan apabila
melahirkan anak tersebut, tahu (jelas) kurang dari enam bulan, maka tidak sah
jadi (وَلَدُ النَّسَبْ) dengan pria tersebut, tidak
berlaku (حُكُومْ وَلَدُ النَّسَبِ), tidak
boleh menjadi wali dan tidak boleh waris mewaris.
قال فى تلخيص المراد، ص
: ٢٤٢
نَكَحَ حَامِلًا مِنَ
الزِّنَى فَأَتَتْ بِوَلَدٍ لِزَمَانِ اِمْكَانِهِ مِنْهُ بِاَنْ وَلَدَتَ
لِسِتَّةِ اَشْهُرٍ وَلَحْظَتَيْنِ مِنْ عَقْدِهِ وَإِمْكَانِ وَطْئِهِ لَحِقَهُ.
وَكَذَا إِنْ جَهِلَتْ اَلْمُدَّةُ وَلَمْ يَدْرِ هَلْ وَلَدَتْهُ لِمُدَّةِ
الْإِمْكَانِ اَوْ لِدُوْنِهَا عَلَى الرَّاجِحِ. وَ إِنْ وَلَدَتْ لِدُوْنِهَا
لَمْ يَلْحَقْهُ.
Seseorang menikahi
wanita hamil dari zina, kemudian wanita tersebut melahirkan setelah tenggang
waktu yang dimungkinkan anak tersebut darinya, yaitu enam bulan ditambah
prosesi akad dan bersetubuh, maka anak tersebut bernasab kepadanya. Demikian
pula menurut pendapat yang rojih apabila tenggang waktu itu tidak diketahui dan
dia tidak tahu apakah si wanita itu melahirkan setelah tenggang waktu demikian
atau dibawah tenggang waktu. Dan apabila melahirkannya dibawah tenggang waktu
yang demikian (kurang dari enam bulan ditambah waktu prosesi akad dan
bersetubuh) maka anak yang lahir itu tidak bernasab kepadanya.
Adapun wanita hamil akibat kecelakaan (مِنَ الزِّنَى) yang dinikah oleh pria yang berbuat zina kepadanya, maka (مُطْلَقْ) anaknya tidak sah jadi (وَلَدُ النَّسَبْ).
قال فى البغية، ص
: ٢٤٩
وَمِنْ هُنَا يُعْلَمُ
شِدَّةِ مَا إِشْتَهَرَ اَنَّهُ اِذَا زِنَى شَخْصٌ بِإِمْرَأَةٍ وَاَحْبَلَهَا
تَزَوَّجَهَا وَإِسْتَلْحَقَ اَلْوَلَدَ فَوَرِثَهُ زَاعِمًا سَتْرَهَا – وَهَذَا
مِنْ اَشَدِّ الْمُنْكَرَاتِ اَلشَّنِيْعَةِ اَلَّتِيْ لَايَسَعُ اَحَدًا
اَلسُّكُوْتُ عَنْهَا فَإِنَّهُ خَرْقٌ لِلشَّرِيْعَةِ وَمُنَابَذَةٌ
لِأَحْكَامِهَا، وَمَنْ لَمْ يَزَلْهُ مَعَ قُدْرَتِهِ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ
فَهُوَ شَيْطَانٌ فَاسِقٌ وَمُدَاهِنٌ مُنَافِقٌ، وَاَمَّا فَاعِلُهُ فَكَادَ
يَخْلَعُ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ لِأَنَّهُ قَدْ أَعْظَمَ الْعِنَادِ لِسَيِّدِ
الْأَنَامِ، مَعَ مَا تَرَتَبَ عَلَى فِعْلِهِ مِنَ الْمُنْكَرَاتِ وَالْمَفَاسِدِ.
Dari
sini bisa diketahui ada hal yang sangat keterlaluan yang merata di tengah
masyarakat, yaitu apabila laki-laki berzina dengan perempuan dan menghamilinya,
maka dia menikahi dan menasabkan anaknya serta memberikan warisan dengan
anggapan bisa menutupi aib perempuan tersebut. Ini adalah termasuk kemungkaran
yang sangat berat dan sangat buruk yang tak seorangpun diberi kelonggaran
membiarkan dan mendiamkannya. Karena hal ini merobek-robek syari’ah dan
mencampakkan hukum-hukum syari’ah. Dan barang siapa tidak berusaha
menghilangkan hal ini dengan jiwa dan hartanya, padahal dia mampu, maka dia
adalah setan yang fasiq dan penjilat yang munafik.
Sedangkan pelakunya
mendekati benar kalau dikatakan berusaha melepaskan ikatan agama islam, karena
dia memperbesar penentangannya terhadap Rasulullah pemimpin manusia, serta
memperbesar kemungkaran-kemungkaran dan kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan
oleh perbuatannya.
Dalam kasus menikahi wanita hamil akibat perzinaan (seperti tersebut
dalam bughyah halaman 249 tadi) ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan.
Secara hokum, anak yang dikandungnya tidak memiliki hubungan nasab dengan
lelaki yang mengawininya, meskipun dia yang menyebabkan kehamilannya.
Konsekuensinya, sang anak tidak mendapatkan warisan dari lelaki itu. Dan kalau
yang lahir berkelamin perempuan, tidak berhak bertindak sebagai wali tatkala
menikah, hal tersebut tampaknya kurang dipahami kita bersama.
Karena itu kehamilan diluar nikah bagaimanapun juga harus dihindari. Caranya
dengan menjauhi aktifitas seks pramantal (seks sebelum menikah) mengingat
akibatnya tidak hanya dirasakan sang ibu, tapi juga merembet pada anak yang
tidak tahu apa-apa.
Aib yang di tanggung keluarga, turunnya derajat yang bersangkutan di mata
masyarakat, juga harus dipikirkan, belum lagi hilangnya ketentraman jiwa karena
merasa berdosa, dan bersalah kepada Allah SWT serta kemungkinan tertular
penyakit. Masalahnya juga akan makin ruwet bila pihak lelaki tidak mau
mempertanggung-jawabkan perbuatannya, ingat !!! pencegahan penyakit
jauh lebih efektif dari pada pengobatan.
Upaya menghindari seks pramantal sebenarnya tidak
terlalu sulit jika mampu menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa menstimulasi
keinginan seksual. Seperti mengkonsumsi berbagai bentuk pornografi, dan larut
dalam pergaulan bebas tanpa batas.
Menjauhi dosa dengan niat yang benar semata-mata mematuhi ketentuan Allah SWT
akan mendapat pahala di dunia dan akhirat, yakinlah kebahagiaan hidup yang
sejati bukan terletak pada pemenuhan dan pemuasan hawa nafsu semata, tetapi
sejauh mana komitmen kita terhadap apa yang sudah digariskan oleh agama.
Dan bagi yang terlanjur “kumpul kebo” bahkan telah
membuahkan beberapa anak, supaya tidak terjerumus dalam kemaksiatan yang
terlalu jauh, hendaknya segera berobat dengan bertaubat, dan
meresmikan hubungan itu dengan ikatan perkawinan.
Wallahu a’lam bisshowab.
Tags:
Artikel